Studi Penambahan Ion Kalsium terhadap Aktivitas dan Stabilitas
α-Amilase Bacillus stearothermophilus TII12
Study of the Addition Calcium Ion to a-AmylaseActivity and
Stability from Bacillus stearothermophilus TII12
ROSMIMIK*, NUR RJCHANA, PUJI LESTARI & DJOKO SAID DAMARDJATI
Balal Penelitian Bioteknologl Tanaman Pangan, Jalan Tentara Pelajar No. 3A, Bogor 16111
Penulis Rosmimik adalah juga Tenaga Ahli dan Co-Founder CV.MARROS LESTARI . Beliau dapat dihubungi melalui HP 087870140732, Fax. +62-254-393687, e-mail : marroslestari@yahoo.com
The effect of storage in liguld or freeze dried condition and calcium ion addition to activity md stability of a smylase from Bacillus stewotkcrmophilhis TlI. have been carried out. The enzyme was stored under several condition:
(i) enzyme was freeze dried, (ii) enzyme was precipitated by aceton and resoluble in phosphate citrate buffer, (iii) enzyme was freeze dried after aceton precipitation and reaolibilizstioii in phosphate citrate buffer, Iv enzyme precipitated by *ceton, resoluble in phosphate Citrate buffer and added by 5 mM calcium ion, and v enzyme was freeze dried after aceton precipitation, resolibilization in phosphate citrate buffer and added by 5 mM calcium ion.
ReuIts show after nine month storage that the beat enzyme obtained in the addition of calcium ion in the freeze dried condition 79.5%.
Key words: a-amytase, Bacillus stearothermophillus, calsium ion
Enzim adalah suatu protein yang bertindak sebagai katalisator reaksi biologi. Di antan sekian banyak enzim yang digunakan dalam industri, enzim untuk industri pangan merupakan enzim yang menguasai pasar dunia. Pada saat ini enzim yang sangat besar penggunaanya untuk biokonversi bahan berpati ialah amilase. Selain dimanfaatkan dalam industri pangan, terutama gula cair, amilase juga digunakan dalam indusiri tekstil dan detergen. ct-Amilase merupakan salah satu jenis amilase yang banyak digunakan dalam industri makanan dan minuman. α-amilase merupakan enzim komersial yang aktif pada substrat pati. Golongan a-amilase yang tahan pada suhu tinggi umumnya digunakan pada proses likuifikasi, sedangkan α-amilase yang bersifat labil digunakan dalam proses sakarifikasi pada pembuatan gula cair. Kegunaan α-amilase dalam berbagai kondisi sangat dipengaruhi oleh stabilitas enzim tersebut, α-amilase yang tidak stabil akan tidak efektif memecah substrat karena aktivitasnya menunin. Umumnya kestabilan enzim berubahjika disimpan cukup lama.
Stabilitas enzim, termasuk ce-amilase dapat dipertahankan antara lain dengan teknik imobilisasi dan modifikasi kimia.
Penambahan bahan tambahan atau aditif. diketahui dapat pula mempertahankan stabilitas enzim. Muchtadi et al. 1992 menggolongkan aditif menjadi beberapa kelompok, yaitu substrat atau koenzim, ion logam, garam dan anion, gula, dan glikol, serta aditiflainnya.
Bacillus stearothermophillus TII12 merupakan isolat unggul penghasil α-amilase termostabil. Enzim ini diharapkan dapat dimanfaatkan pada proses hidrolisis pati yang bersuhu tinggi.
*
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh penambahan bahan aditif ion kalsium terhadap stabiIitas dan aktivit.as α-amilase.
BAHAN DANMETODE
Mikroorganisme dan Media. Bacillus stearothermophilus Tll12 yang digunakan berasal dan lumpur kawah Pegunungan Dieng, Jawa Tengah, hasil isolasi dan seleksi Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan. Media yang digunakan ialah media amilum tennodifikasi Gao eta!. 1984 terdiri atas ekstrak ragi 0.5%, bakto tripton 0.5%, MgSo4 0.05%, CaCI2 0.5%, KH2PO4O.05%, NaCIO.l%, dan patiubikayu 1%.
Produksi Enzim.
Media amilum termodifikasi sebanyak 300 ml, pH 6.5 di dalam erlenmeyer ukuran satu liter diinokulasi dua ose 11112 berumur 24 jam. Media tersebut diinkubasikan pada orbital shaker pada suhu 50°C, kecepatan 150 rpm selama 24 jam Kim er al. 1995. Kultur B. stearotermophilus TII12 hasil propagasi dimasukkan ke dalam fermentor ukuran lima liter yang berisi 271 media steril yang ditambalii anti buih silikon 0.075%. Kultur dalam fermentor djinkubasj selama dua hari.
Proses fermentasi dilakukan dalam kondisi terkontrol pada suhu 50°C dan pH 6.5, agitasi 300 rpm, dan aerasi 1.5 vvm.
Perlakuan Penyimpanan.
Penyimpanan dilakukan selama sembilan bulan dan dicobakan pada lima macam perlakuan: (i) Sebanyak 100 ml enzim kasar dimasukkan ke thiam erlenmeyer kemudian Iangsung dikeringbekukan pada suhu 4°C dan disimpan; (ii) 100 ml enzim kasar diendapkan dengan aseton dingin perbandingan 2:3, didiamkan selama 24jam path suhu 4°C, kemudian disentrifugasi selama 30 menit. Endapan dicuci dengan air, disentrifugasi kemudian ditambahi 10 ml bufer fosfat sitrat standar BFS dengan pH 7, dan selanjutnya disimpan;
(iii) 100 ml enzim kasar diendapkan dengan aseton dingin perbandingan 2:3, didiamkan selama 4jam pada suhu 4°C, kemudian disentrifugasi selama 30 menit. Endapan dicuci dengan air, disentrifugasi dan ditambahi 10 ml BFS pH 7,
dikeringbekukan pada suhu 4°C dan selanjutnya disimpan; iv 100 ml enzim kasar diendapkan dengan aseton dingin perbandingan 2:3, didiamkan selama 4 jam pada suhu 4°C, kemudian disentrilligasi selama 30 menit. Endapan dicuci dengan air, disentrifligasi, ditambahi 10 ml BFS pH 7, dan CaCI2 5 mM, selanjutnya disimpan pada suhu 4°C;v 100 ml enzim kasar diendapkan dengan aseton dingin perbandingan 3:2, didiamkan selama 24 jam pada suhu 4°C, kemudian disentrifugasi selama 30 menit. Endapan dicuci dengan air, disentrifligasi ditambahi 10 ml BFS dengan pHi, CaCI25 mM, dan dikeringbekukan pada suhu 4°C.
Pengamatan.
Pengamatan meliputi aktivitas enzim mengikuti metode Benfeld 1955. Satu unit amilase didefinisikan sebagai sejumlah enzim yang dapat menghasilkan gula reduksi sebanyak I .tmo1/menit pada kondisi pengujian. Kandungan protein ditentukan mengikuti metode Bollag dan Edelstein 1991. Aktivitas spesifik dihitung berdasarkan pada perbandingan antara aktivitas enzim dengan protein terlarut dan aktivitas sisa merupakan perbandingan antara aktivitas enzim setelah dan sebelum inkubasi.
HASILDAN PEMBAHASAN
Penyimpanan selama sembilan bulan menyebabkan penurunan aktivitas α-amilase dan berbagai macam perlakuan. Aktivitas α-amilase sebelum penyimpanan sebesar 1241.11 UI / mL, setelah penyimpanan pada bulan ke- I sampai bulan ke-9 memberikan hasil yang bervaniasi Tabel-1.
Penyimpanan enzim dengan perlakuan 2 dan 3 memberikan nilai aktivitas enzim yang tidak begitu berbeda, mi disebabkan proses perlakuannya sama, yaitu sama-sama diendapkan dengan aseton dan ditambah dengan BFS. Aktivitas enzim yang disimpan dalam bentuk cair memberikan aktivitas yang sedikit lebih besar dan enzim yang disimpan dalam bentuk padat, perbedaan mi hanya disebabkan oleh bentuk fisik. Ion kalsium dapat mempertahankan stabilitas dan meningkatkan aktivitas enzim, peningkatannya mencapai 58%. Aditif seperti ion kalsium memberikan pengaruh yang Iebih baik dalam meningkatkan aktivitas enzim Muchtadi et.al,1992. Pada penambahan ion kalsium bentuk kering lebih mempertahankan stabilitas,
Kandungan protein terlarut dan enzim dengan beberapa bentuk penyimpanan menyebabkan penunman protein serta memberikan nilai yang bervariasi. Sebelum penyimpanan protein terlarut cukup tinggi, yaitu 1.952 mg/mI. Protein tenlarut mengalami penurunan selama penyimpanan 9 bulan Tabel-2
Pada akhir penyimpanan secara umum semua perlakuan mengalami penurunan protein terlarut. Protein enzim pada perlakuan I meinberikan basil yang paling kecil di dibandingkan dengan penlakuan lainnya. mi disebabkan karena protein enzim perlakuan 1 murni supernatan sehingga menyebabkan banyak protein kontaminan yang akan menurunkan nilai kandungan protein. Sedangkan penyimpanan enzim yang lain diikuti dengan penambahan perlakuan lain seperti penambahan aseton. Menurut Viccaro eta!. 1972 pemakaian aseton dingin sebanyak 1.5 kali volume awal digunakan untuk pemumian protein enzim. Aseton dingin untuk pengendapan amylase dilaporkan menunjukkan aktivitas yang cukup baik Trinovia1997 dan Ahmadi 1998.
Pada akhir penyimpanan penambahan ion kalsium menghasilkan protein terlarut
tertinggi, hal ini menunjukkan bahwa bahan aditif mampu menjaga perubahan protein dibandingkan dengan perlakuan lain. Ion kalsium juga dapat mencegah denaturasi protein sehingga protein terlarut tetap tinggi pada akhir penyimpanan.
Pada Gambar-1 menunjukan aktifitas pada beberapa perlakukan.
Aktivitas spesifik lima macam perlakuan memberikan hasil yang bervariasi, karena aktivitas enzim dan kandungan protein terlarut masing perlakuan berbeda.
Selama penyimpanan terjadi penurunan aktivitas enzim maka aktivitas sisa juga menurun dan berbeda-beda tiap perlakuan Gambar 2. Penyimpanan menyebabkan terjadinya penurunan aktivitas sisa pada tiap bulan.
Ion kalsium berpengaruh terhadap stabilitas termal a-amilase B. stearotermophilus T1112. Fenomena ini didukung oleh Ivanova et al. 1993 dan Kim eta!. 1995 bahwa ion kalsium umumnya ditambahkan dalam bentuk CaCI2 mampu mengaktivasi a-am ilase. Shih dan Labbe 1995 juga menyatakan bahwa adanya Ca2 5 mM dapat menmgkatkan aktivitas optimum amilase Clostridium perfringens tipe A, demikianjuga pada Streptococcus equinus Boyer & Hartman 1971. Dengan demikian hampir semua a-amilase memerlukan ion kalsium karena selain dapat meningkatkan aktivitas enzim, juga berfungsi sebagai stabilisator enzim Vihinen & Mantsala 1989.
Berdasarkan hasil penelitian ini, a-amilase B. stearotermophilus T1112 termasuk termostabil dan lebih stabil dengan adanya ion kalsium. Enzim termostabil lebih kaku dibandingkan dengan enzim termolabil. Kekakuan ini menyebabkan kecenderungannya membentuk struktur yang tidak stabil lebih rendah. Ion kalsium membantu mempertahankan kondisi kaku tersebut. Oleh karena itu, enzim Iebih tahan terhadap Iingkungan ekstrem Vihinen & Mantsala 1989. Pemyataan tersebut sangat mendukung hasil penelitian mi bahwa termostabil dengan adanya ion kalsium temyata menyebabkan a-amilase Bacillus stearotermophilus T1112 aktivitas sisa tertinggi dalam penyimpanan. Aktivitas enzim sisa selama sembilan bulan penyimpanan dan perlakuan 4 dan 5 dengan penambahan ion kalsium memberikan hasil sebesar 70% atau lebih.
DAFTARPUSTAKA
Ahmadi MD. 1997. Karakterisasi enzim amilase dan isoiat bakteri termopilik lokal Mum [Skripsil. Bogor: institut Pertanian Bogor.
Benfeld P. 1955. Amylase a and 13. Di dalam: Cotowik SP, Kaplan NO ed. Methods in Enzymology and Related in Biochemistry. Vol I. New York : Acad Pr. him 149-155.
Bollag DM, Edelstein SJ. 1991. Protein Methods. New York : John Wiley and Sons. him 52-55.
Boyer EW, Hartman PA. 1971. Extracelluler transgi000cyllase and alfa amylase of Streptococcus equines. J Bacteriol 106:561-570.
Gao XL, Yu Y, Linko P. 1984. Glucoamylase and a-amyiase production by immobilized. Biotech 6:645-650.
Ivanova VM, Dobreva EP, Emanuilova El. 1993. Purification and characterization of thermostable alfa amylase from Bacillus licheniformis. J Biotech 8:277-289.
Kim TV, Gu BG, Jeong JY, Byun SM, Shin YC. 1995. Purification and characterization of maltotetraose-forming alkatin a-amylases from an alkalophilic Bacillus Strain GM 8901. Environ Microbiol 1:3105-3112
Muchtadi DNS. Palupi, Astawan M. 1992. Enzim dalam Industri Pangan. PAU Pangan dan Gizi.
Tninovia D. 1997. Enzim amilase dan beberapa strain bakteri indigenous. [Skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor ,
Viccaro Jp , Jamaica NY. Weaver JM, Rock NJG. 1972, Method of producing Dextranase. US Patent No. 3.663.371.
Vihinen MM, Mantsala P. 1989. Microbial amytolitic Enzymes. Critical Rev Biochem Molec Biol 24:329.418.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar